Tura Turu.CO.ID – JAKARTA. Industri baja global tengah memasuki masa kritis. Inggris, salah satu negara industri terkemuka, baru saja mengumumkan rencana penutupan dua blast furnace milik British Steel di Scunthorpe.

Langkah ini merupakan bagian dari transisi menuju teknologi yang lebih ramah lingkungan, seperti Electric Arc Furnace (EAF).

Namun, konsekuensinya tidak kecil: sekitar 2.700 pekerja terancam kehilangan pekerjaan, dan Inggris berpotensi menjadi satu-satunya negara G7 tanpa kapasitas produksi baja berbasis bijih besi.

Bagi Indonesia, perkembangan ini bukan sekadar kabar luar negeri, tetapi peringatan dini. Jika tidak berhati-hati, Indonesia bisa mengalami nasib serupa: kehilangan kemandirian industri baja dan bergantung penuh pada pasokan luar negeri.

Pasar Domestik Kuat, Tapi Produksi Masih Tertinggal

Indonesia memiliki potensi besar di sektor baja. Kebutuhan domestik diproyeksikan mencapai 21 juta ton pada 2025, bahkan bisa menembus 100 juta ton pada 2045.

Namun, produksi baja nasional saat ini masih sekitar 17 juta ton per tahun, menciptakan kesenjangan pasokan yang diisi oleh impor.

“Kalau industri ini tidak segera diperkuat dari sisi hulu hingga hilir, kita hanya akan jadi pasar, bukan pemain,” kata Lay Monica, peneliti dari Celios, Minggu (20/4).

Salah satu kelemahan utama adalah ketergantungan terhadap bahan baku impor seperti scrap dan pellet.

Industri baja dalam negeri belum sepenuhnya mandiri, dan sangat rentan terhadap fluktuasi harga serta gangguan pasokan global.

Banjir Baja Impor China Jadi Ancaman Nyata

Situasi diperparah oleh masuknya baja murah dari China, terutama setelah produk baja China dikenai tarif tinggi di Amerika Serikat (AS).

Indonesia menjadi salah satu sasaran ekspor alternatif, menekan daya saing produsen lokal.

“Kami berharap oversupply dari China tidak membebani industri baja domestik,” ujar Febri Hendri Antoni Arief, Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Hukum dan Pengawasan.

Ia memperingatkan, tekanan terhadap pasar domestik juga akan berdampak pada keberlangsungan 19 juta pekerja dan keluarganya.

Andry Satrio Nugroho, peneliti dari INDEF, menyamakan ancaman ini dengan apa yang dialami industri tekstil. “Kita butuh intervensi strategis, bukan sekadar respons jangka pendek,” tegasnya.

Langkah Strategis yang Harus Segera Diambil

Meski tantangan besar, masa depan industri baja nasional masih menyimpan peluang jika dikelola dengan tepat. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh pemerintah antara lain:

  1. Menyusun Strategi Baja Nasional Terintegrasi

Bukan hanya fokus pada produksi, tetapi juga mencakup penguatan rantai pasok, energi, investasi, hingga penguasaan teknologi.

  1. Mengoptimalkan TKDN secara Konsisten

Pemanfaatan Tingkat Komponen Dalam Negeri dalam proyek infrastruktur dan manufaktur dapat menjadi pasar captive bagi baja lokal.

  1. Mendorong Transisi Energi

Pengembangan teknologi EAF atau Direct Reduced Iron (DRI) harus didukung tarif energi yang kompetitif agar industri baja lebih efisien dan berkelanjutan.

“Pemerintah harus menyatukan arah. Industri baja tidak bisa berdiri sendiri. Ia butuh ekosistem,” kata Widodo Setiadarmaji, pemerhati industri baja dan pertambangan.

Belajar dari Inggris, Bertindak Sebelum Terlambat

Inggris kini tengah menyusun Strategi Baja Nasional untuk melindungi dan merevitalisasi sektor strategis tersebut. Indonesia tak boleh menunggu hingga industri baja kolaps baru bertindak.

Perlindungan melalui instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD), safeguard, dan regulasi impor yang ketat menjadi langkah awal.

Namun di atas semua itu, diperlukan keberanian politik untuk menyusun kebijakan industri jangka panjang yang inklusif dan konsisten.

“Negara harus hadir. Bukan menggantikan pasar, tapi mengarahkan dan melindungi agar pasar bekerja untuk kepentingan nasional,” ujar Widodo.

Pada akhirnya, dalam pertarungan industri baja global, bukan perusahaan terbaik yang menang—melainkan negara yang paling siap dan berpihak pada industrinya sendiri.