Tanggal 21 Mei 1963, Sukarno menikah dengan Haryati, putri Kanjeng Pangeran Koesoemajoedho, Bupati Ponorogo periode 1916-1926. Keduanya saling mengenal setelah Haryati menari Menakjinggo di Istana Negara. Dia juga merupakan staf Sekretaris Negara Bidang Kesenian. Keduanya saling menyukai dan memutuskan menikah.

Bulan madu mereka habiskan dengan menikmati debur ombak dan embusan angin laut.

"Bung Karno mengajak Haryati berbulan madu di KRI Irian ," tulis Julius Pour dalam Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi sampai Orde Baru (1995: 48).

Menurut Haryati dalam Hariyatie Soekarno The Hidden Story: Hari-hari bersama Bung Karno 1963-1967 (2001), keduanya mula-mula menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Makassar. Selanjutnya melawat ke Papua dengan menumpang KRI Irian, kapal Indonesia terbesar di masanya.

KRI Irian bernama asli Ordzhonikidze (310), buatan galangan kapal di Saint Petersburg, Rusia. Kapal itu dikerjakan sejak 19 Oktober 1949 dan baru kelar digarap pada 17 September 1950. Melaut perdana pada 30 Juni 1952 dan jadi bagian dari Armada Merah Angkatan Laut Uni Soviet.

Saat hubungan antara Indonesia dengan kembali Belanda memanas, Indonesia memutuskan membeli Ordzhonikidze (310) pada 3 Oktober 1961. Lantas mengubah namanya menjadi KRI Irian (201). Hal itu dikarenakan pembeliannya bertujuan menghalau serbuan kapal induk HNLMS Karel Doorman milik Belanda yang hendak merangsek Irian Barat.

Dalam buku Kepemimpinan Maritim (2019), Achmad Taufiqoerachman menulis kapal berkelas Colossus itu buru-buru pergi setelah melongok KRI Irian dikawal pembom jarak jauh Tu-16KS badger dengan rudal AS-1 Kennel. Satu bom saja sudah cukup membuat sebuah kapal induk luluh lantak.

KRI Irian jadi besi tua saksi Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam upaya Indonesia mencegah Belanda membentuk negara boneka Irian Barat. Pun manuver negara di antara blok Barat dan Timur, indikasi merapat mesra ke kubu Uni Soviet.

Memborong Alutsista Soviet

Seorang peneliti Indonesia asal Belanda, Clarice van den Hengel, pernah bersaksi kepada awak media Rusia, Russian Beyond The Headline (RBTH), bahwa satu-satunya wilayah bekas Hindia Belanda yang belum mendapat kedaulatan sebagai bagian NKRI adalah Papua. Sukarno menghendaki agar urusan ini diselesaikan, sehingga Konferensi Meja Bundar (KMB) bisa dihelat pada 23 Agustus-2 November 1949. Tetapi bertahun-tahun sengketa teritorial ini belum juga berbuah hasil.

Kemudian pada 1956, Sukarno memutuskan mencari dukungan sampai ke Uni Soviet, musuh bebuyutan Sekutu semasa Perang Dingin. Lawatan pertama Sukarno ke Moskow disambut baik oleh Nikita Khrushchev, Perdana Menteri Uni Soviet.

Nikita Khrushchev yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika tidak butuh waktu lama untuk klop dengan Sukarno. Dia segera memberikan dukungan, salah satunya turut mendesak PBB membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.

Empat tahun berselang, tepatnya pada 18 Februari 1960, giliran Nikita Khrushchev yang datang ke Jakarta. Dia juga mengunjungi Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

Dalam sebuah jamuan makan malam di Istana Merdeka, Sukarno berpidato. Dia menyatakan kedatangan Khrushchev ke Indonesia sebagai simbol persahabatan dengan Uni Soviet.

Hubungan bilateral ini berbuah kerja sama militer. Sebagaimana tulis Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama (1985), ia diminta Sukarno melakukan kunjungan kerja ke Uni Soviet. Tujuannya untuk memborong alutsista buatan mereka, sebagai upaya penguatan militer.

Awalnya Nasution menaruh syak terhadap perintah presiden. Dia mengusulkan sebaiknya ABRI menggunakan alutsista dari AS yang dinilai lebih canggih. Namun Sukarno dengan tegas menolak yang menurutnya sebagai bagian dari sikap menentang imperialisme.

Pada Desember 1960, Nasution akhirnya memimpin negosiasi ke Moskow. Prosesnya cukup lama. Sang Jenderal pulang ke tanah air pada 6 Januari 1961 dengan memborong berbagai armada, senjata, dan amunisi. Satu kapal jelajah (KRI Irian) dilabuhkan, 14 kapal perusak, 8 patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa torpedo bermotor, kapal meriam, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai senjata berat lainnya didatangkan.

Dana lumayan besar digelontorkan demi memborong alat perang itu. Sebanyak 450 juta US dolar harus dibayar pemerintah, dengan kredit berjangka selama 20 tahun dan bunga sebesar 2,5 persen.

Kobar Trikora

Pada 5 April 1961 Belanda melantik Dewan Papua lengkap beserta bendera dan lagu kebangsaan negara mereka sendiri. Hal ini menjurus ke pembentukan Negara Papua.

Belanda juga menyiapkan Komite Nasional Papua yang resmi dibentuk pada 19 Oktober 1961. Terdiri dari 20 anggota Dewan Papua ditambah beberapa anggota lain dari perwakilan Belanda, sehingga berjumlah total 80 orang.

M. Cholil dalam Sejarah Operasi2 Pembebasan Irian-Barat (1979) yang dipublikasikan Departemen Pertahanan-Keamanan Pusat Sejarah ABRI, menjelaskan manifes yang dikeluarkan Sidang Dewan Papua, 1 November 1961. Isinya lima permintaan yang ditujukan kepada Belanda, bukan Indonesia.

Di antaranya menentukan Bendera Pusaka, menyanyikan lagu kebangsaan Papua, mengganti nama West Nieuw Guinea menjadi Papua Barat, menyatakan bernama bangsa "Papua", serta mengusulkan bendera dikibarkan di hari manifes ini ditandatangani. Namun permohonan terakhir ditangguhkan, sebab mesti menunggu putusan Pemerintah Belanda pada 1 Desember 1961, sebagaimana yang tertulis di Tindjauan Situasi Irian Barat (1961:119).

Usaha demikian membuat Sukarno berang. Di Alun-alun Utara Yogyakarta, pada 19 Desember 1961, ia berpidato yang dikenal sebagai Trikora , sebagaimana dilansir dari video Arsip Nasional RI.

"Hai, seluruh rakyat Indonesia! Kibarkan bendera Sang Merah Putih di Papua, di negara Irian Barat itu. Tegas saya memberi komando ini, gagalkan negara Papua itu... dan siap sedialah akan datangnya mobilisasi umum. Mobilisasi umum yang mengenai seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat sama sekali daripada cengkeraman imperialisme Belanda!"

Kini, jalan antara Istana Negara Gedung Agung dengan Alun-alun Utara Yogyakarta dinamai Jalan Trikora. Sementara plakat yang memuat “Prinsip Trikora” terpasang di Lapangan Banteng, Jakarta.

Tiga seruan Sukarno dalam pidatonya adalah (1) gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, (2) kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia, (3) bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Berpijak dari komando Operasi Trikora di Yogyakarta, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. I/1962 pada 2 Januari 1962 yang dikenal sebagai Komando Mandala. Lewat ini, Indonesia tidak lagi sekadar menggertak tetapi juga melakukan perencanaan matang.

Sejumlah pasukan dibentuk dari gabungan kodam di berbagai wilayah. Meliputi Kodam Merdeka, Hasanuddin, Pattimura, Udayana, serta Korud II dan Korud IV. Komando Mandala dipusatkan di Makassar. Rencananya, Indonesia bakal melaksanakan tiga tahap instruksi yang dikomandoi Mayjen Soeharto, yakni infiltrasi (penyusupan), eksploitasi, dan konsolidasi.

Konflik bersenjata tak bisa lagi dicegah, disertai meletusnya beragam operasi yang menghabiskan tenaga, biaya, bahkan korban jiwa.

Masalah ini turut diseret dalam Sidang Umum PBB 1961. Sekjen PBB, Maha Thray Sithu U Tant, meminta Ellsworth Bunker, diplomat AS untuk ikut nimbrung dalam penyelesaian sengketa teritorial Irian Barat. Disepakati usulan yang menyatakan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia dalam jangka waktu maksimal 2 tahun.

Tembak menembak berhenti setelah Sukarno memberi perintah pada 18 Agustus 1962. Padahal saat itu Komando Mandala masih melakoni tahap infiltrasi, jauh dari rencana awal yang diperhitungkan.

Belanda setuju menyerahkan Irian Barat ke Otoritas OBB (UNTEA) dan pada 1963, Irian Barat sepenuhnya jadi milik Indonesia.

Usai referendum pada 1969 sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang belakangan dicurigai penuh kecurangan, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan NKRI. Kendati Pepera masih banyak menimbulkan perdebatan, pakta ini telah diterima AS, Uni Soviet, Australia, serta 81 negara anggota PBB lainnya.