WASHINGTON DC, Tura Turu Dalam waktu singkat setelah kembali menjabat sebagai Presiden AS, Donald Trump menyatakan komitmennya untuk menjadi penengah dalam gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia.
Namun, tiga bulan setelah itu atau 100 hari pemerintahan Trump, meskipun Rusia mengumumkan gencatan senjata singkat pada Minggu (20/4/2025), perang antara kedua negara masih berlanjut dengan ketidakpastian yang semakin meningkat.
Trump gagal meraih konsesi penting dari Moskwa meski telah melakukan serangkaian pembicaraan dengan pejabat Rusia.
Dalam perkembangan yang mengejutkan, Trump bahkan secara terbuka mengkritik Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dengan menyebutnya sebagai "diktator".
Sementara itu, Trump mulai mendekatkan diri dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, langkah yang justru menjauhkan hubungan dengan Kyiv dan menciptakan ketegangan antara Washington dan sekutu-sekutunya di Eropa.
Pihak Rusia menyambut baik hubungan yang lebih erat dengan Gedung Putih. Namun, di Ukraina, harapan akan perdamaian semakin menipis.
Tymofiy Mylovanov, Kepala Sekolah Ekonomi Kyiv, menggambarkan situasi di Ukraina dengan tegas.
"Tidak ada yang terjadi. Orang-orang mendengar sirene setiap hari, melihat bom, dan banyak yang terbunuh," ujarnya, dikutip dari kantor berita AFP pada Senin (21/4/2025).
Sejak Trump menjabat pada Januari 2025, beberapa putaran pembicaraan telah dilakukan antara delegasi AS, Rusia, dan Ukraina untuk mencapai gencatan senjata.
Namun, serangan-serangan Rusia terus terjadi tanpa henti, menewaskan puluhan orang dalam serangan rudal balistik dalam dua minggu terakhir.
Di wilayah Kursk, Rusia, tentara Ukraina juga kehilangan kendali atas wilayah yang menjadi satu-satunya alat tawar-menawar mereka.
"Situasinya malah semakin buruk," kata Anna Klyshkina (29), seorang fotografer asal Sumy, Ukraina, yang merasakan dampak langsung dari serangan Rusia. Pada hari Minggu, serangan rudal Rusia menewaskan 35 orang di kotanya.
Meski Trump mendesak, tidak ada kemajuan signifikan terkait gencatan senjata.
Putin menolak usulan AS dan Ukraina untuk gencatan senjata tanpa syarat yang diajukan pada Maret lalu, meskipun kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan serangan terhadap target energi. Sayangnya, perjanjian informal tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pasukan Rusia terus maju perlahan di Ukraina timur, meskipun dengan kecepatan lebih lambat dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Tentara Rusia kini hampir menguasai wilayah Kursk dan maju ke perbatasan Sumy di timur laut Ukraina.
Di sisi lain, tentara Ukraina Oleksandr mengungkapkan pandangannya yang semakin negatif terhadap Trump.
"Dia bukan politisi, dia tukang pamer," katanya, menggambarkan perasaan banyak orang di Ukraina terhadap Presiden AS tersebut.
Pada Maret 2025, Trump juga mengurangi bantuan militer ke Ukraina, sebuah langkah yang mengejutkan mengingat kebijakan Joe Biden sebelumnya yang sangat mendukung Ukraina.
Trump bahkan berulang kali menyerukan pemilu baru di Ukraina untuk menggantikan Zelensky, yang ia klaim memiliki peringkat persetujuan hanya empat persen.
Bahkan ketegangan memuncak pada Februari 2025, ketika Trump mencaci maki Zelensky dalam sebuah pertemuan yang disiarkan televisi dan menilai sikapnya tidak sopan.
Beberapa hari setelah serangan mematikan Rusia terhadap Sumy, Trump kembali mengkritik Zelensky, dengan mengatakan,
"Anda tidak memulai perang melawan seseorang yang ukurannya 20 kali lipat dari Anda," jelas Trump.
Perang yang dimulai dengan invasi Rusia pada Februari 2022 ini terus berlanjut, dan hingga kini, prospek perdamaian tetap jauh dari jangkauan.