Tura Turu Jika Anda merasa sering disalahpahami oleh rekan kerja yang lebih muda, anak-anak Anda, atau bahkan pasangan Anda sendiri, mungkin bukan karena mereka yang "terlalu sensitif".
Bisa jadi karena Anda mempertahankan kebiasaan yang tanpa disadari terkesan kuno, tidak fleksibel, bahkan melelahkan.
Seperti dikutip Tura Turudari laman Geediting.com pada Minggu, 20 April 2025, berikut ini adalah 7 kebiasaan khas Gen X yang sudah tidak relevan lagi, dan yang secara halus membuat Anda terlihat sulit diajak berurusan.
1. Terlalu Sering Bernostalgia tentang “Betapa Susahnya Dulu”
“Zaman dulu kita nggak punya GPS, harus baca peta kertas. Dan kita baik-baik saja!”
Ya, Anda mungkin tumbuh di masa tanpa ponsel pintar, tanpa Google Maps, dan harus memutar ulang kaset dengan pensil. Masa itu jelas membentuk karakter Anda. Tapi jika setiap kali generasi muda berbicara tentang stres, Anda langsung menimpali dengan cerita "perjuangan zaman dulu", maka itu bisa terasa meremehkan pengalaman orang lain.
Masalahnya bukan pada nostalgia. Masalahnya adalah ketika nostalgia digunakan untuk membandingkan atau bahkan menghakimi.
Generasi muda hari ini menghadapi tantangan yang sama beratnya—hanya saja bentuknya berbeda. Mereka menghadapi tekanan media sosial, krisis iklim, ketidakpastian ekonomi, dan ekspektasi karier yang serba cepat.
Alih-alih berkata:
"Kalau zaman saya, nggak ada tuh namanya anxiety atau burnout."
Cobalah katakan:
"Wah, tantangan zaman sekarang beda banget, ya. Apa yang paling bikin kamu stres akhir-akhir ini?"
Sikap terbuka seperti ini bisa membuat Anda lebih relevan dan menyenangkan untuk diajak bicara.
2. Menutup Diri Secara Emosional dan Menganggap Itu Sebagai Kekuatan
“Nggak usah drama. Hidup tuh memang keras, tahan aja.”
Generasi X dibesarkan di era di mana emosi bukan untuk dibagikan—melainkan untuk ditahan. Tapi zaman sudah berubah. Hari ini, kerentanan dianggap sebagai keberanian.
Jika Anda cenderung menertawakan perasaan orang lain, menyela dengan sarkasme saat percakapan mulai serius, atau menyimpan semua yang Anda rasakan sendiri, Anda bisa jadi menciptakan jarak dengan orang-orang yang sebenarnya ingin dekat dengan Anda.
Orang tidak hanya ingin didengar, mereka ingin dirasakan. Dan menutup diri tidak akan membuat Anda terlihat kuat—justru sebaliknya, itu menciptakan tembok yang tinggi dan dingin.
Mulailah dengan bertanya:
"Apa yang kamu rasakan hari ini?"
Dan jika Anda merasa nyaman: "Aku juga pernah merasa seperti itu. Tapi waktu itu aku nggak tahu harus cerita ke siapa."
Sederhana, tapi powerful.
3. Terlalu Mengandalkan Sarkasme dan Sinisme
“Oh, tentu saja... karena dunia pasti akan runtuh kalau kamu nggak upload di Instagram.”
Sarkasme memang identik dengan Gen X. Lucu? Iya. Tajam? Jelas. Tapi ketika digunakan secara terus-menerus, sarkasme bisa menjadi bentuk pertahanan diri terhadap kedekatan emosional, dan sinisme bisa menjelma menjadi aura negatif yang menyedot energi orang lain.
Jika setiap percakapan Anda penuh sindiran, celetukan sinis, atau komentar pahit, jangan heran jika orang-orang mulai menjaga jarak.
Ingat: humor sehat itu menyatukan, bukan menjauhkan. Cobalah campurkan sedikit kehangatan di antara sarkasme Anda. Itu akan membuat Anda terasa lebih autentik.
4. Menganggap Teknologi Adalah “Musuh”
“Saya nggak ngerti kenapa anak-anak ini harus update story setiap 10 menit. Apa gunanya?”
Tidak semua orang harus jadi tech-savvy. Tapi jika Anda secara konsisten menolak belajar atau bahkan mengolok-olok perkembangan teknologi, Anda bukan sedang mempertahankan prinsip—Anda sedang menolak realitas.
Teknologi bukan hanya soal TikTok atau AI. Ini juga tentang cara orang berkomunikasi, bekerja, dan belajar hari ini.
Bersikap sinis terhadap kemajuan teknologi membuat Anda tampak ketinggalan zaman dan sulit beradaptasi—dua hal yang secara sosial bisa membuat Anda terkucil.
Alih-alih mengeluh soal teknologi, mintalah anak atau rekan kerja Anda menunjukkan cara kerja sesuatu.
Ini bukan soal “ikut-ikutan”, tapi soal menunjukkan bahwa Anda masih terbuka dan ingin tumbuh.
5. Menganggap “Kerja Keras” adalah Satu-satunya Jalan Sukses
“Saya nggak pernah libur waktu seusiamu. Mau sukses? Ya kerja lebih keras!”
Ini salah satu nilai inti Gen X: kerja keras tanpa henti. Tapi di zaman sekarang, kerja keras tanpa batas justru sering dianggap tidak sehat dan kontraproduktif.
Generasi sekarang mulai paham bahwa bekerja cerdas, menjaga batasan, dan merawat kesehatan mental juga bagian dari kesuksesan.
Jika Anda masih memandang remeh istirahat, terapi, atau cuti, dan menganggap semua itu sebagai "kemewahan generasi malas", Anda sedang menutup diri dari perubahan penting dalam dunia kerja.
Daripada menilai, cobalah bertanya:
"Apa yang bisa saya pelajari dari cara kamu menyeimbangkan hidup dan pekerjaan?"
Anda akan terkejut betapa banyaknya yang bisa Anda ambil dari pendekatan baru ini.
6. Masih Berpegang pada Peran Gender Tradisional
“Masa cowok nyuci piring sih?”
“Tugas rumah tangga itu urusan perempuan.”
Beberapa Gen X masih membawa pola pikir tentang peran gender yang sangat kaku. Namun hari ini, masyarakat sudah jauh lebih inklusif dan fleksibel.
Laki-laki bisa jadi stay-at-home dad tanpa dipertanyakan. Perempuan bisa menjadi CEO tanpa diragukan. Pasangan bisa berbagi pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab emosional secara adil.
Jika Anda masih melontarkan lelucon seksis atau berpikir bahwa tugas rumah itu "urusan perempuan", Anda tidak hanya terlihat kuno, tapi juga tidak sensitif terhadap perjuangan kesetaraan gender yang sedang berlangsung.
7. Menganggap “Diam dan Kuat” Adalah Pendekatan Terbaik dalam Hubungan
“Saya nggak suka ribut. Lebih baik diam.”
Diam memang kadang emas. Tapi dalam hubungan—baik itu pernikahan, keluarga, atau persahabatan—diam bisa jadi bom waktu.
Generasi X sering diajarkan bahwa menyimpan perasaan adalah cara untuk tetap dewasa. Tapi dalam dunia sekarang, komunikasi terbuka jauh lebih dihargai daripada keheningan yang dingin.
Jika Anda cenderung diam saat ada masalah, menghindari percakapan sulit, atau menyimpan kemarahan, Anda mungkin menciptakan hubungan yang tegang, pasif-agresif, dan penuh asumsi.
Cobalah mulai dengan sederhana:
"Saya sebenarnya agak kesal soal kemarin, tapi saya ingin membicarakannya dengan baik."
Itu bukan kelemahan. Itu kekuatan emosional sejati.
Menjadi bagian dari Generasi X adalah kebanggaan. Anda adalah generasi jembatan—tahu rasanya hidup tanpa internet dan tahu cara mengaksesnya hari ini. Anda tangguh, mandiri, dan punya insting bertahan yang kuat.
Tapi jika Anda tetap ingin terhubung, dihargai, dan dipahami oleh generasi lain, penting untuk bersedia menyesuaikan diri sedikit.
Ingat: adaptasi bukan berarti kehilangan jati diri. Itu berarti Anda berkembang.
Dan di dunia yang berubah cepat ini, kemauan untuk berkembang adalah kekuatan baru.
Jika beberapa poin di atas terdengar familiar, jangan langsung merasa defensif. Kesadaran diri adalah langkah awal. Mulailah dengan mendengarkan, membuka pikiran, dan mengurangi sedikit sarkasme itu.
Dan siapa tahu? Dengan sedikit penyesuaian, Anda bisa jadi bukan hanya generasi penghubung—tapi juga generasi panutan yang bisa merangkul yang lama dan yang baru.***